Mebanten atau sembahyang bagi umat Hindu wajib hukumnya. Tetapi soal waktu memang ada ketentuannya. Misalnya ngaturang banten Saraswati atau Kuningan ditentukan pada saat matahari terbit sampai sebelum tengah hari. Lalu sembahyang Tri Sandhya ditentukan pelaksanaannya pada pagi, siang dan sore atau malam hari. Meski memungkinkan, terutama apabila keadaan (kala) memang dirasakan tidak memungkinkan, dapat dilaksanakan di luar waktu yang telah ditentukan. Kecuali upacara tertentu yang memang tidak bisa dialihkan ke waktu lain, seperti Tawur Kesanga, misalnya.
Mendirikan Kamulan baru, terpisah dari Sanggah Gede memang sepatutnya didahului upacara “mendak dan nuntun” Bhatara-Bhatari Kawitan untuk disthanakan di sanggah baru. Kalaupun tidak bisa langsung mendak dan nuntun dapat juga dilakukan dengan “ngayat” dari tempat sanggah baru itu didirikan. Itupun kalau yang menjadi alasannya menyangkut jarak, misalnya mendirikan sanggah di daerah transmigran. Tetapi kalau masih di seantero Bali rasanya upacara mendak dan nuntun Bhatara-Bhatari Kawitan patut dilakukan.
Bila mebanten ataupun sembahyang di Sanggah Kamulan arah hadap sebagaimana sudah menjadi konsep Hindu adalah ke Timur atau Utara atau Timur Laut. Tetapi untuk arah hadap waktu mebanten jelas mengarah sesuai dengan letak palinggih. Tentang siapa yang dituju waktu mebanten atau sembahyang, kalau di Sanggah Kamulan jelas Bhatara-Bhatari leluhur. Dan bisa juga ditujukan kepada Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Hyang Guru.
Perihal kemana saja harus sembahyang bila di desa kelahiran ada Sanggah Gede dan Sanggah Pakurenan, umumnya seperti sudah sering dilakukan. Jika mebanten atau sembahyang sehari-hari cukup di Sanggah Pakurenan saja. Tetapi bila mebanten atau sembahyang dalam rangka rerainan seperti Kajeng Kliwon, Purnama Tilem, Saraswati, Galungan, Kuningan kiranya akan lebih baik dapat pedek tangkil ke Sanggah Gede bahkan ke beberapa pura di seputar desa seperti Kahyangan Tiga. Lebih dari itu bila memungkinkan dapat melakukan persembahyangan melalui tirtha yatra ke kahyangan-kahyangan jagat, minimal yang ada di Bali.

E-mail : desa_tamblang@ymail.com
Kapan dan di Mana Meski Sembahyang
Makingsan di Geni
Dalam hal terhalangnya atau terhambatnya upacara pengabenan seseorang karena alasan yang bersangkutan meninggal pada hari tententu di mana sedang berlangsung suatu upacara yang membutuhkan suasana hati dan bhakti suci nirmala seperti Piodalan di pura, maka pilihan akan jatuh pada cara Makingsan. Makingsan ini adalah penguburan atau pembakaran jenazah secara darurat dan bersifat sementara dengan tanpa disertai upacara dan upakara sebagaimana mestinya.
Upacara Makingsan ini ada dua macam yaitu : Makingsan di Geni dan Makingsan di Pratiwi (Pertiwi). Makingsan di Geni artinya menitip jenazah di setra melalui cara pembakaran. Setelah di bakar, abu dan tulang belulang yang masih tersisa di masukkan kedalam periuk lalu di tanam titempat pembakaran tadi. Sedangkan Makingsan di Pratiwi artinya menitipkan jenazah di setra dengan jalan menguburkannya.
Karena hanya bersifat sementara (darurat), maka baik Makingsan di Geni maupun Makingsan di Pratiwi, pada saat dewasa yang dipandang baik akan kembali ditindak lanjuti dengan upacara penguburan atau pembakaran jenazah yang sebenarnya lengkap dengan upacara dan upakaranya.
Bagi yang Makingsan di Geni, maka selang beberapa hari setelah lewat upacara Piodalan yang tadinya sempat menunda upacara pengabenan, kini boleh dilakukan. Dan karena jenazahnya tidak ada lagi, maka dibuatkanlah pengawak sawa (badan-badanan) untuk di aben. Lalu bagi yang Makingsan di Pratiwi, selang beberapa waktu (biasanya dalam hitungan bulanan bahkan tahunan) kuburan akan di gali kembali untuk di ambil tulang belulangnya dan bersama dengan adegan sawa akan dibakar pada saat pengabenannya. Untuk Makingsan di Pratiwi ini ada juga yang tidak menggali lagi liang kuburnya guna mendapat tulang belulangnya. Biasanya cukup dengan hanya ngulapin ke setra yang mengandung makna memanggil roh sang mati untuk selanjutnya akan di aben. Setelah ngulapin, liang kubutnya kembali diratakan yang disebut dengan nyapuh.
Hal-hal lain yang boleh dikatakn sebagai keunikan dari sistem Makingsan ini adalah sebelum pelaksanaannya baik Makingsan di Geni maupun Makingsan di Pratiwi, orang yang meninggal itu dianggap “sedang tidur” bukan mati. Lalu secara ritual akan ada banten Pengalang Sasih yang bertujuan untuk menghalangi efek sebel sang mati dan keluarganya agar tidak ngeletehing Piodalan yang sedang berlangsung. Dan secara social, pada waktu pelaksana upacara Makingsan ini tidak akan dilibatkan anggota masyarakat atau karma desa.
Misteri Leak Medaster
Masih ingatkah anda dengan leak medaster…?? hehehe…kini saya ceritakan sedikit tentang leak medaster yang pernah menggegerkan Desa Tamblang khususnya didaerah Pimpasan, demi kenyamanan kita bersama identitas saya sembunyikan oke…!
Leak medaster itu adalah perwujudan seseorang perempuan yang sedang mempelajari aliran ilmu hitam dan berpakain biasa seperti orang pada umumnya, tapi karena dia Itu memakai daster disebutlah leak medaster, biasanya si leak medaster ini keluar diatas jam 12 malam, mungkin karena orang tuanya mempelajari aliran ilmu hitam juga maka si leak medaster ini pun coba-coba, sering menggangu tetangga yang berada di dekat rumahnya.
Tak jarang orang yang di ganggunya jatuh sakit, karena sudah meresahkan sekali tingkah lakunnya, mereka di usir dari daerah pimpasan, dan sekarang tinggal di dekat kuburan Desa Tamblang, dan si ibu dan bapak leak medaster ini pun sangat kejam, pernah membuat anak kecil sampai meninggal, mungkin di santet sampai anak kecil ini meninggal, bapak dan ibu anak kecil ini pun sangat terpukul dengan kejadian ini dan pernah berencana untuk membakar rumah bapak dan ibu leak medaster ini, yang di bantu oleh warga setempat (pimpasan).
Ini kejadian sekian tahun yang lalu, tapi sekarang sudah tidak ada lagi leak medasder, yang ada leak didepan computer hehehe…
Tamblang Cyber Community Mengucapkan :
Rahajeng Nyangra Rahina Galungan Lan Kuningan
Semoga Pikiran Baik Datang Dari Segala Penjuru
Bintang Kukus Dan Kiamat Apa ada Dalam Kitab Suci?
Sebagai diketahui agama Hindu didasarkan atas konsep kesemestaan. Artinya ajaran-ajaran agama Hindu selalu menekankan pada hubungan yang harmonis dengan semesta alam. Karena terciptanya hubungan harmonis antara unsure-unsure alam, manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan pencipta merupakan tujuan beragama yang ditandai dengan terwujudnya Moksartham Jagadhita Ya Ici Dharmah.
Jika lepas dari konsep dasar kesemestaan ini, dimana satu sama lain unsure alam terutama manusia dengan makhluk yang dipandang utama bersikap tidak harmonis, biasanya alam akan memberikan isyarat melalui gejala-gejala tertentu sebagai pertanda akan terjadinya peristiwa tertentu pula yang akan memberi pengaruh bagi kehidupan didunia.
Dan yang jelas dunia yang terbagi dua yaitu Bhuawana Agung (macrocosmos) dan Bhuwana Alit (microcosmos) senantiasa bergerak dalam karya-Nya yang harmonis untuk saling mempengaruhi. Bhuwana Agung terganggu Bhuwana Alit pun merasakan gangguan itu. Bhuwana Alit dalam hal ini manusia jika merusak bagian dari Bhuwana Agung, maka melalui gejala-gejala alam akan ditunjukkan akibatnya.
Sebagai umat Hindu yang percaya dengan ajaran kesemestaan Weda, sudah sepatutnya melihat dan mencermati isyarat alam sebagai petunjuk untuk lebih berbhakti kepada Hyang Widhi. Kemunculan bintang Kukus merupakan isyarat atau gejala alam seperti hanya gempa bumi, gerhana matahari atau bulan yang sudah tentu akan memberi pengaruh bagi kehidupan didunia. Pengaruh itu bisa menyangkut bidang social, ekonomi, politik dan sebagainya. Akibat yang ditimbulkan dari pengaruh itupun bisa positif dan dapat pula negative. Yang pasti apapun yang terjadi di semesta alam ini akan saling memberi pengaruh baik kepada Bhuwana Agung maupun kepada Bhuwana Alitnya.
Tentang kitab atau lontar suci yang mengungkap ilmu perbintangan termasuk mungkin bintang Kukus secara umum disuratkan di dalam kitab Jyotisa, sebuah kitab yang merupakan bagian dari kitab wedanga dan Wedangga itu sendiri merupakan bagian terpenting dari kitab suci Weda.
Perihal kiamat, antara lain disuratkan di dalam kitab Manusmrti I.54, “Bila pada waktu kiamat semua makhluk hidup sekaligus terserap ke dalam jiwa dari segala jiwa makhluk (Tuhan) beristirahat dengan tenang, bebas dari segala kewajiban”.
Baud Gati...
Dijo Umahne…?
Ini sebuah cerita yang sampai sekarang sangat menglitik saraf tawa saya. cerita ini terjadi beberapa tahun yang lalu, seseorang dari Desa lain ingin mencari seseorang di Desa Tamblang. sebut saja namanya Mr.X Setelah mondar mandir dia bertanya, akhirnya dia bertanya pada orang yang berdiri di pingir jalan yang namanya Darbe,
Mr.X : “Dije umahne Darbe Konyong nah…?
Darbe : “Bih…cobak dajane takonang moh….
(Padahal di dalam hatinya sudah panas sekali, karena dia sendiri yang dicari)
Akhirnya Mr.X ini bertanya pada orang lain, sesudah bertanya kepada orang lain,
dan dibilang bahwa yang ditanya barusan itulah yang bernama Darbe konyong,
alahkah terkejutnya dia, akhirnya Mr.X kembali mencari Darbe konyong dan meminta maaf.
Mr.X : “Bih sory nah…sing tawang madan Darbe Konyong nok.
Darbe Konyong : “hehehe…nah sing engken…(didalam hatinya sudah tertawa hahaha..)
Kisah Si Andi
Anak kelas 4 SD ini memang bandel, pada waktu gurunya mengajar sering mengerjai teman2nya, sebut saja namanya Andi. saking nakalnya sering membuat gurunya naik pitam.
hari ini murid2 masuk sekolah karena habis libur panjang, Andi yang pemalas ini bangun kesiangan, sesudah cuci muka, gosok gigi dan berpakainan dia langsung pergi ke sekolah, dan sesampainya disekolah teman-temannya sudah masuk kelas. dan dia dengan santai nyelonong tanpa memberikan salam kepada gurunya, setelah duduk dia ditanya pada gurunya,
Guru : “ Andi kenapa kamu telat…???
Andi : “ Kesiangan Pak…(dengan santai dia menjawab)
Guru : “Sekarang anak2 keluarkan buku matematikanya
Murid2 : “iyaaa….pak…
semua murid sudah diberikan pertanyaan dan kini giliran andi,
Guru : “ Andi ini berapa…?guru itu sambil menyodorkan lima jari tangannya
Andi : “ De de ti limane…"
Semua murid pun tertawa.
Guru : “ Andi cobak berhitung…?
Andi : “ sek,duek,teluk,pat,limek…dst..!!!
Ok silakan tertawa...sebelum anda ditertawai kehkehkeh....
Pura Taman Suci Desa Tamblang
Pura Taman Suci Desa Tamblang di sungsung oleh Warga Desa Tamblang Dusun Kaja Kauh dan sekitarnya, Pura ini tergolong unik, dan sekaligus dijadikan Bale Banjar Dusun Kaja Kauh, Pemangku Pura Taman Suci Jro Mangku Taman mengatakan Pura ini sangat angker, karena banyak kejadian-kejadian aneh pernah di alami dan orang lain pun pernah mengalaminya, di dalam pura ini tumbuh pohon jepun yang sangat besar, kira-kira umurnya kurang lebih ratusan tahun.
Kebersihan Pura Taman Suci ini pun tetap di pelihara, karena setiap harinya ada yang merawat dan memelihara pura ini yang bahasa trennya juru kunci. di pura Taman Suci ini juga sering dijadikan tempat pembagian sembako, rapat Seka Truna Truni, pembuatan ogoh-ogoh dan belajar menabuh, yang bertempat di Bale Banjar tentunya.
Sekaha Gong Cenik
Alunan tabuh Sekaha Gong Cenik memang sangat berbeda dengan tabuh Sekaha Gong Gede, tabuh Sekaha Gong Cenik sangat lembut dan pukulan tabuhnya pun sangat pelan. Pada saat ada odalan di Pura Bale Agung, Pura Dalem dan pura-pura lainya, Sekaha Gong Cenik biasanya menabuh, personil Sekaha Gong Cenik pun sudah cukup berumur, sebagian orang mungkin sangat menyukai tabuh Sekaha Gong Cenik, tak jarang tempat menabuh Sekaha Gong Cenik selalu penuh, karena ingin mendengarkan alunan tabuhnya.
Berbeda dengan tabuh Sekaha Gong Gede, tabuhnya sangat keras dan pukulan tabuhnya pun sangat cepat serta jumblah gongnya pun lebih banyak di bandingkan Sekaha Gong Cenik.
Pura Tukad Melis Desa Tamblang
Jalanan yang menurun dan bertangga bisa ditempuh kurang lebih 10 – 15menit dari jalan raya, kurang lebih 150 anak tangga yang harus kita lalui untuk menuju Pura Tukad Melis, Pura Tukad Melis berada tepat disamping Tukad Desa Tamblang, sambil berjalan kita menuju Pura Tukad melis kita bisa melihat pemandangan yang indah, pemandanga yang asri yang memberikan suasana sejuk dan seasana damai di hati kita, bukit pucuk (Bukit Sakti) pun nampak didepan kita, kita juga bisa melihat pohon-pohon yang baru saja mulai tumbuh, karena disini pernah ditumbuh-tubuhi banyak pohon untuk penghijauan, yang tentunya untuk menahan erosi disaat musim penghujan datang.
Pura Tukad melis ini sangat unik, berada di bawah batu paras besar yang diatas batu paras ini di tumbuhi pohon besar dan dari baru besar ini keluar air, yang nantinya di gunakan tirtha sebabis persembahyangan, ada juga mengambil untuk air minum atau memasak, sebelum kita mengambil air tentunya kita menghaturkan sesajen atau canang sari dan dilengkapi dengan dupa, supaya apa yang kita minta bisa memberi kesehatan dan bisa menyembuhkan segala macam penyakit.
Kalau ada odalan di Kawitan (dadya) desa tamblang, biasanya Melis ke Pura Tukad Melis, nunas tirtha untuk memohon keselamatan dan kerahayuan kepada Hyang Widhi Wasa.
Pura Bale Agung
Ornamen ukiran yang sangat menonjol dari Pura Bale Agung Desa Tamblang, yang baru-baru saja di renovasi total, yang menghabiskan dana tidak sedikit, ukiran pada dingding penyengker pura ini sangat bervariasi, seperti ukiran pura-pura pada umumnya, Desa Tamblang juga terkenal dengan pengukir-pengukir yang trampil yang mampu bersaing dan tidak kalah dengan pengukir-pengukir di daerah lain, makanya ukiran yang ada di Pura Bale Agung ini di ukir oleh orang dari desa tamblang.
Makanya kemegahan Pura Bale Agung ini bisa di lihat dari luar pura, Pura Bale Agung ini berdekatan dengan pasar Desa Tamblang, tak jarang mereka yang sebelum berjualan menghaturkan sesajen supaya dagangannya laris dan meminta kerahayuan dan keselamatan tentunya, yang nampak dari luar juga bale kulkul Pura Bale Agung ini sangat megah menjulang tinggi. Kesucian Pura Bale Agung harus kita jaga samapai kapanpun dan bagi semua warga Desa Tamblang tentunya.
Suatu Refleksi dan Menanti Sebuah Jawaban
Beberapa waktu ini desa kita Desa Tamblang mendapatkan bantuan sekitar 200 juta rupiah yang diberikan oleh bupati Buleleng. Masyarakat semua pun tahu akan hal itu. Tapi yang terpenting masyarakat tidak hanya tahu berapa besar bantuan yang diterima, lebih dari itu masyarakat hendaknya tahu bagaimana pengelolaan uang tersebut, siapa atau bagaimana pengawasannya. Jangan sampai bantuan tersebut disalahgunakan atau hanya untuk kepentingan beberapa orang saja, tapi harus bisa digunakan untuk kepentingan umum masyarakat desa Tamblang.
Pengawasan pengelolaan keuangan ini sangatlah penting sekali, begitupun penggunaannya perlu dipikirkan dengan baik agar nantinya tidak menimbulkan berbagai macam masalah dikemudian hari. Kita bisa mengambil contoh dari proyek kantor kepala desa yang kini masih mangkrak atau 'ditunda'. Salah satu faktor 'penundaannya' tiada lain adalah masalah keuangan, mungkin karena pengawasan maupun pengelolaannya yang salah atau bagaimana. Apakah dengan memasang papan "kami tunggu partisipasi Anda" semuanya akan menyelesaikan masalah ? Tidak mungkin, kalau partisipasi berupa tenaga maupun suara mungkin saja iya.
Masih banyak sarana umum yang harus dibenahi, seperti jalan menuju SMP maupun SMA. Jalan-jalan untuk kepentingan umum tersebut cepat sekali rusak atau tidak bertahan lama. Apakah ini salah mandor atau siapa? Seharusnya sarana untuk kepentingan umum, terlebih untuk sekolah agar dibuat yang lebih tahan lama sehingga menyenangkan bagi si pengguna.
Kami hanya berharap dan berharap semoga semua masalah ini bisa terselesaikan dengan hati yang bijak, menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi, desa ini milik kita bersama, kita jaga bersama untuk kita bersama.....
Sentugi Bridge, The function and mystery
Jembatan ini dibangun kira-kira sekitar tahun 1980-an, dibawahnya terdapat aliran sungai dan bendungan untuk sistem irigasi bagi sawah-sawah yang berada di lingkungan subak desa Tamblang. Sungai atau sering dikenal dengan istilah telabah ini sering dijadikan sebagai tempat permandian bagi masyarakat sekitarnya, selain karena airnya yang jernih dan sejuk juga karena letaknya yang strategis dekat jalan umum. Jembatan ini sebagai penghubung lalu lintas kendaraan Singaraja-Denpasar atau sering kita kenal “jalur Kintamani”. Dari arah utara sebelum jembatan terdapat sebuah tikungan.
Di tikungan ini rawan sekali terjadi kecelakaan. Sudah banyak kecelakaan yang terjadi di tikungan ini. Dari mobil “beradu jangkrik”, sepeda motor yang “melebar” saat menikung atau terjatuh karena terdapat tumpahan solar yang dibawa oleh bus yang melintas, bahkan ada pengendara sepeda motor sampai terjun bebas ke sungai yang kedalamannya dari atas jalan kira-kira 20 meter, untung tidak sampai merenggut nyawa bahkan pada saat itu banyak orang yang menolong sampai mencari “sir” untuk dipasang taruhan togel.
Ada yang memasang plat nomor sepeda motor yang mengalami kecelakaan dan ada yang mencari nomor yang menunjukkan “kecelakaan” pada buku seribu mimpi. Nanti malamnya, entah kebetulan atau bagaimana, plat nomor sepeda motor yang mengalami kecelakaan tersebut keluar 2 angka. Banyak orang-orang yang melihat kejadian itu, khususnya pecandu togel yang menang nomor saat itu. Mungkin ini namanya musibah membawa berkah. Ada-ada saja memang. Masyarakat kita memang selalu begitu, setiap detik kejadian selalu terekam dengan baik. Yang tua maupun yang muda tidak kalah jauh.
Dari sore sampai malam, jembatan ini sebagai tempat nongkrong bagi anak-anak muda desa Tamblang. Sorenya sebelum mandi di sungai, ada baiknya nongkrong sambil cuci mata liat cewek cantik yang melintas. Tips nongkrong yang paling enak mungkin di hari sabtu dan minggu. Kenapa demikian ?, karena sabtu minggu adalah hari “pulang baliknya” anak-anak yang menempuh pendidikan di kota Singaraja. Kita bisa liat cewek-cewek cantik lewat dengan dandanan serta bawaan tas yang banyak. Dan bila teman-teman ada yang nongkrong pada saat itu jangan lupa bersay hello, “Hay cewek...”.
Malam hari biasanya hari sabtu banyak anak-anak muda yang nongkrong di jembatan ini (mungkin lagi ngejomblo atau bagaimana), yang jelas ada yang cuma kongkow-kongkow, “tutur tertular”, minum-minum (arak, tuak, mungkin ada yang cuma air putih saja), ngetes motor atau cuma wheeli, dan aktivitas lainnya yang terkadang mengganggu tidur malam pemilik rumah yang berdekatan dengan jembatan Sentugi.
Tips dan trik untuk meminimalkan terjadinya kecelakaan pada tikungan sebelum jembatan dari arah utara seperti misalnya berdoalah selalu kepada Tuhan, hati-hatilah mengendarai kendaraan Anda, bila Anda pengendara sepeda motor jangan lupa over persneling motor Anda, lebih baik memilih jalur agak ke tepi karena jalur tengah sering ada tumpahan solar bus pagi harinya (bus pagi sering memfull-kan tangki sehingga sering terjadi goyangan pada tangki pada saat menikung yang menimbulkan tumpahan solar), selalulah membunyikan klakson pada saat melintasi jembatan ini istilahnya nyelang margi (karena sering kita anggap tempat ini tenget, kata tenget berasal dari kata to inget, yang berarti bahwa kita sadar bahwa tempat ini ada mahluk lain dari dunia kita yang menjaganya), apabila ada yang sering nongkrong di jembatan ini, jangan pernah sekalipun merusaknya ataupun berkata-kata yang tidak wajar. Demikian untuk selalu diperhatikan.
Doa dan usaha itu hendaknya selalu seiring, semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu melindungi kita semua.
Om Loka Samasta Sukhino Bhawantu,
Om çantih, çantih, çantih, Om
Persamaan Sembahyang Mantra dan Doa
Bagi umat Hindu istilah sembahyang, mantra dan doa bukanlah asing lagi. Sebab sudah menjadi bagian pengetahuan dan pengalamannya sebagai umat yang bhakti kepada Hyang Widhi beserta manifestasinya dan juga Bhatara-Bhatari. Secara hakiki terutama dalam konteks filosofi, makna sembahyang, mantra dan doa sama-sama memberi pengertian tentang perilaku keagamaan seorang hamba Tuhan yang senantiasa ingin mendekat pada-Nya dengan cara memuliakan nama-Nya sekaligus mohon ampun dan kerahayuan. Perbedaannya hanya terletak pada teknis pelaksanaannya. Jika sembahyang lebih berkonotasi formal di mana seorang umat bila hendak melakukannya ada ketentuan atau persyaratan yang sebisanya dipenuhi.
Misalnya kalau umat Hindu hendak sembahyang diharapkan berpakaian sembahyang, lalu menyiapkan bunga atau kewangen dan dupa. Sedangkan apabila kita mengucapkan mantra dan doa bisa tidak dilengkapi diri dengan sarana seperti tersebut diatas. Artinya untuk mengucapkan matra dan doia orang boleh melakukan di mana saja dan kapan tanpa sarana. Tetapi yang jelas jika umat sedang melakukan acara persembahyangan apa yang namanya mantra dan doa pasti tidak dapat ditiadakan. Justru karena seseorang bersembahyang itulah mantra dan doa akan digunakan. Misalnya kita melakukan sembahyang Tri Sandhya, maka perilaku yang nampak adalah : berpakaian sembahyang, menyediakan sarana persembahyangan, lalu mengucapkan mantra yang sekaligus juga merupakan ungkapan doa.
Hanya terdapat perbedaan sedikit antra mantra dan doa. Kalau mantra konotasinya lebih mengacu sumber Weda karena masih menggunakan bahasa sansekerta, sedang istilah doa lebih universal. Sebab semua umat beragama dengan bahasa masing-masing dapat mengucapkan doa-doa. Dengan kata lain, bila hendak mengucapkan mantra maka wajib berpijak pada bunyi-bunyi yang tersurat pada kitab-kitab suci, sedangkan kalau berdoa, setiap orang bisa menggunakan bahasa sendiri-sendiri. Jika seseorang ingin menggunakan bahasa Indonesia atau mungkin bahasa Bali atau bahasa inggris sekalipun ia dapat mengucap doa. Tetapi jika hendak memantra, maka bahasa Weda itulah yang lazim digunakan. Tentu akan terasa aneh sekali jika seorang sulinggih atau pemangku mengucap mantra dengan bahasa Indonesia atau bahasa inggris.
Akan tetapi untuk berdoa, bahasa apapun dapat digunakan. Lagi pula bahasa hanyalah alat komunikasi antar manusia yang sama-sama mengerti atau memahami bahasa tersebut. Sedang untuk berkomunikasi dengan Tuhan, tanpa bahasa pun Beliau sudah memahami apa yang ingin kita sampaiakan. Dan bahasa yang lebih mencerminkan kemurnian bhakti itu sesungguhnya ada pada hati yang tulus ikhlas untuk berserah pada kemaha kuasaan-Nya.
Bolehkah Mebanten Pakai Celana Pendek
Perihal busana atau pakaian yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan, sesungguhnya bagi agama Hindu tidaklah bersifat baku atau standar apalagi mutlak. Jika berhubungan dengan nilai-nilai ajaran agama Hindu, memang bersifat universal, umumnya selalu mengacu pada kondisi local. Maka jangan heran apalagi disalahkan bila misalnya umat Hindu Kaharingan-Kalimantan menggunakan pakaian suku bangsa Dayak jika melakukan persembahyangan Hindu. Begitupun umat Hindu di Tenger (jawa), batak, toraja dan di tempat lain tidak dapat dilarang untuk menggunakan pakaian daerah setempat ketika melakukan kegiatan keagamaannya.
Busana yang selama ini ditampilkan oleh umat Hindu di bali dan kemudian dipergunakan pula oleh umat Hindu di daerah lain bukanlah bersifat “penyeragaman” tetapi semata-mata merupakan proses peniruan. Dan proses peniruan itu berlangsung tanpa ajakan apalagi paksaan. Dan umat Hindu yang berasal dari Bali tidak juga boleh melakukan proses “menghindu-balikan” umat Hindu yang di luar Bali, kecuali memang atas permintaan atau keinginan tulus dari umat Hindu setempat.
Contohnya, tentang bentuk bangunan tempat suci Hindu tidak harus sama dengan apa yang dibangun oleh umat Hindu di Bali. Banguanan sanggah/merajan misalnya, meskipun umat Hindu di Bali wajib mendirikannya, tetapi untuk umat Hindu di luar suku bangsa Bali tidak harus ikut mendirikannya. Begtu pula tentang upakara dan upacara yajna dengan berbagai jenis bebantennya tidak harus sama persis dengan apa yang sudah mentradisi di Bali.
Masih banyak lagi contoh-contoh yang dapat diungkap yang pada akhirnya bermuara pada suatu pernyataan bahwa agama Hindu yang ajarannya bersifat universal itu dalam prakteknya tetap berpijak pada kondisi local.
Soal busana “mebanten jotan” atau mebanten lainnya, memang untuk umat hindu di Bali alangkah “manisnya” jika mengenakan busana yang sudah lumbrah dipakai, minimal mengenakan kain, selendang dan kemeja atau kebaya atau baju biasa. Tetapi dalam kondisi tertentu, misalnya pelajar disekolah, pejabat yang sedang bertugas, tentara yang sedang berdinas tidak dapat dihalangi atau dilarang untuk menjalankan kewajiban agamanya meski masih mengenakan pakaian wajibnya.
Yang penting pakaian yang dikenakan selain bersih juga sopan. Sopan maksudnya, pakaian yang dikenakan masih berada dalam batas-batas kepatutan menurut ukuran orang beragama. Misalnya tidak mengenakan pakaian fitness saat mesaiban, memakai rok mini ketat ke pura, berkebaya tembus pandang tanpa pelindung di bagian dalam saat Tri Sandhya bersama.
Jika pakaian sejenis itu yang dikenakan, suasana suci, khusuk dan khidmat serta konsentrasi yang dibutuhkan dalam persembahyangan itu akan menjadi rusak alias terganggu. Itu berarti niat mulia untuk “menghadap” Tuhan menjadi tidak kesampaian.
Arti Tirtha dan Jenis Tirtha dalam Persembahyangan
Tirtha pada dasarnya adalah air yang telah melalui proses pembersihan dan penyucian secara ritual sehingga bersifat sakral dan diyakini dapat menumbuhkan perasaan dan atau pikiran yang suci. Untuk mendapatkan tirtha ada dua macam cara yaitu :
Pertama, dengan cara naur (memohon) yang dapat dilakukan oleh pinandita (pemangku, dalang, balian termasuk sang yajamana (umat yang sedang menyelenggarakan upacara yajna).
Kedua, dengan cara makarya (membuat) yang hanya bisa dilakukan oleh seorang pandita (orang yang sudah madwijati)
Terkait dengan tirtha persembahyangan, baik yang didapat dengan nuur maupun makarya pada garis besarnya dibedakan menjadi dua jenis sesuai dengan fungsinya yaitu :
Tirtha pembersihan (pembersihan) dan tirtha wangsuhpada yang sering juga disebut kekuluh atau banyun cokor. Fungsi tirtha pembersih sesuai dengan namanya adalah untuk membersih-sucikan upakara (bebanten) yang dipakai sebagai sarana persembahyangan dan juga diri sendiri agar terbebas dari kekotoran. Karena itu penggunaan tirtha pembersih ini dilakukan sebelum inti persembahyangan dimulai. Biasanya di jaba sebuah pura akan disediakan jenis tirtha ini dan di jeroan sebelum pemimpin upacara “ngantebang upakaraning bebanten “ akan menyiratkan tirtha pembersih.
Setelah upacara persembahan dan persembahyangan selesai dilanjutkan dengan “nunas tirtha” wangsuhpada dari Ida Bhatara yang disembah. Tirtha wangsuhpada atau kekuluh atau banyun cokor Ida Bhatara ini adalah lambang waranugraha-Nya kepada umat yang sujud sembah-bhakti memuja beliau berupa “amrta” yaitu kerahajengan dan kerahayuan hidup.
Jadi, dalam suatu persembahyangan, jenis tirtha ini bisa juga dibedakan menurut waktu penggunaannya yaitu tirtha pembersihan sebagai tirtha pembukaan untuk membersihsucikan fisik-material (dari sendiri dan upakara bebanten) dan tirtha wangsuhpada sebagai penutup persembahyangan yang menyimboliskan bahwa atas sembah-bhakti kita beliau berkenan memberikan wananugraha berupa karahajengan dan kerahayuan hidup.
Bagi umat Hindu sebagai disuratkan di dalam kitab suci Bhagavadgita IV, 26 penggunaan air yang kemudian diproses ritual menjadi tirtha, bukanlah sekedar pemanfaatan benda cair itu secara fisikal. Lebih jauh dari itu adalah nuansa sakral dari air suci itu dalam menumbuhkan jiwa spiritual umat agar dirinya terbebas dari segala kekotoran baik yang disebabkan oleh unsur material (badan kotor) maupun unsur immaterial (rohani kotor).
Itu sebabnya, meski nampak sepele percikan air suci yang disebut tirtha itu merupakan lambang kehidupan yang di dalam lontar Paniti Agama Tirtha disebut “tirtha ngaran amrta”: tirtha adalah hidup. Artinya, tirtha itulah penyebab umat dan Agama Hindu itu tetap eksis. Tanpa tirtha umat dan Agama Hindu akan kering lalu mati. Sebaliknya dengan tirtha, dahaga lahir dan batin akan terpuaskan dalam kehidupannya.
Makna Acintya Dalam Hindu
Paling tidak ada dua makna yang dapat diurai berkaitan dengan “Acintya” ini.
Pertama, Acintya sebagai suatu istilah yang didalam kitab suci Bhagavadgita II.25, XII.3 atas Manawadharmasastra I.3 disebut dengan kata: Acintyah, Acintyam atau Acintyasa yang artinya memiliki sifat yang tidak dapat dipikirkan. Dalam bahasa Lontar Bhuwana Kosa, “Acintyam” bahkan diberi artian sebagai “sukma tar keneng anggen-anggen”: amat gaib dan tidak dapat dipikirkan.
Lalu siapa yang dikatakan memiliki sifat tidak dapat dipikirkan itu, tidak lain dari Sang Paramatman (Hyang Widhi) termasuk Sang Atman itu sendiri. Jadi, sebagai suatu istilah, “Acintya” mengandung makna sebagai penyebutan salah satu sifat kemahakuasaan Tuhan.
Kedua, Acintya sebagai symbol atau perwujudan dari kemahakuasaan Tuhan itu sendiri. Bahwa apa yang sebenarnya “tidak dapat dipikirkan” itu ternyata “bisa diwujudkan” melalui media penggambaran, relief atau pematungan. Maka muncullah gambar Acintya di atas selembar kain putih sebagai “ulap-ulap” ketika ”melaspas atau ngenteg linggih” sebuah pura. Atau relief Acintya di bagian “ulon” (Singgasana) Padmasana atau dalam bentuk patung/arca tersendiri. Kesemua bentuk symbol Acintya yang diwujud-nyatakan itu mengandung makna sama yaitu sebagai penggambaran dari kemahakuasaan Tuhan. Dengan mewujud-nyatakan simbol yang sebenarnya “tidak terpikirkan” itu dikandung maksud agar umat berada pada situasi di mana emosi religinya sangat dekat dengan Tuhan.
Perihal posisi/sikap Acintya dalam media penggambaran sangat bervariasi. Secara kasat mata, Acintya merupakan gambaran dari sosok beranatomi manusia tanpa jenis kelamin (tidak laki-laki, tidak perempuan, juga tidak banci), berdiri dengan dua kaki (dwi pada) atau pula dengan satu kaki (kaki kiri di bawah, kaki kanan terangkat). Lalu sikap tangan, ada yang Amustikarana, Dewa Pratistha, Anjali Mudra dan ada juga satu tangan di dada, sedang satunya lagi menjulur ke bawah. Variasi lainnya nampak pada hiasan yang menyertai sosok Acintya itu seperti lukisan cakra dan padma dan tidak ketinggalan Aksara suci “Ang, Mang, Ung, Ong”.
Meskipun begitu bervariasinya penggambaran wujud Acintya ini, maknanya tetap tidak tergeser yaitu sebagai ekspresi penghayatan umat Hindu untuk
membayangkan/menggambarkan Hyang Widhi yang tidak terpikirkan itu melaui media konkret (gambar, relief dan patung).
Terakhir, tidak ada ketentuan yang mewajibkan di setiap pelinggih Padmasana diisi gambar, relief atau patung Acintya. Sebab dari segi konsepsi, Padmasana itu sendiri adalah sthana/linggih dari Hyang Widhi. Lagi pula fenomena pembuatan gambar, relief, atau patung Acintya ini jauh belakangan dari lahirnya konsepsi Padmasana itu sendiri, yang diarsiteki oleh Dang Hyang Niratha pada abad ke-15.
Jenis Dresta Mana yang Tertinggi
Dalam hal praktek keagamaan, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya dengan lebih berpijak pada “acara” (tradisi). Tradisi mana tentunya tetap mengacu pada sumber tertinggi (Sruti) namun dalam pengalamannya lebih ditampilkan wujud perilaku (etika) dan wujud materi (upacara/upakara yajna). Sedangkan wujud ide/nilai berupa pengetahuan (jnana) cenderung dikesampingkan (gugon tuwon). Itulah sebabnya, dalam hal menjalankan tradisi keagamaan umat Hindu benar-benar dapat dengan “pageh” mempertahankan “tetamian” leluhur itu.
Tradisi leluhur dalam hal menerapkan ajaran agama Hindu inilah yang kemudian berkembang menjadi “dresta” yang arti dan maknanya lebih luas yaitu sebagai pandangan dari suatu masyarakat mengenai tata krama dalam menjalankan hidup dan kehidupan di masyarakat (desa pekraman). Dan karena setiap masyarakat dalam lingkup desa/wilayah berbeda latar belakangnya (sosial, ekonomi, budaya, sifat keagamaan), maka meski tidak menjolok, yang namanya penampilan yang berbeda-beda pasti akan selalu muncul dan mewarnai perilaku kehidupan antara masyarakat yang satu dengan yang lainya.
Muncullah kemudian istilah pembenaran untuk suatu perbedaan itu seperti : desa-kala patra (perbedaan menurut tempat-waktu dan keadaan), desa mawa cara (setiap wilayah mempunyai cara/kebiasaan yang berlainan), Negara yang mawa tata (setiap Negara memiliki tata cara tersendiri) dan akhirnya lahir pula istilah “dresta” yang jenisnya ada empat (Catur Dresta) dan acuan pembenarannya bervariasi, yaitu :
1. Purwa Dresta
sering juga disebut Kuna Dresta, adalah suatu pandangan lama yang muncul sejak dahulu dan terus dijadikan sebagai pedoman dari generasi pelaksanaan nyepi dengan Catur Bratanya.
2. Loka Dresta
adalah suatu pandangan local yang hanya berlaku pada suatu daerah/wilayah. Contohnya, tradisi tidak membakar mayat di daerah/wilayah Bali pegunungan (Bali Mula)
3. Desa Dresta
tidak jauh berbeda dengan pengertian Loka Dresta, di mana suatu pandangan yang sudah mentradisi dan hanya berlangsung di suatu desa tertentu saja. Contohnya, tradisi Ngusaba umumnya dilakukan di desa-desa Bali Timur, sedang di Bali ke barat tidak begitu lumbrah.
4. Sastra Dresta
merupakan suatu pandangan yang dasar pijakannya adalah satra atau pustaka-pustaka agama yang mengacu pada kitab suci Weda. Misalnya : Manawadharmasastra, Sarasamuscaya, Bhagawadgita, dan lain-lain. Termasuk lontar-lontar yang berisi petunjuk praktis dari pelaksanaan upacara yajna.
Dilihat dari sumber pijakan atau acuannya, maka di atantara ke empat dresta itu mempunyai posisi tertinggi sebagai pedoman dalam melaksanakan ajaran agama adalah Sastra Dresta baik yang berstatus Sruti maupun Smrti, di mana keduanya merupakan Dharma Satra sumber kebenaran agama dan sebagai Daiwi Walk – Wahyu Tuhan itu sendiri.
Apa Pandangan Hindu tentang Valentine Day
Sebenarnya mengikuti perkembangan zaman tidak salah asal tetap berpijak pada jati diri sebagai orang Timur dan selaku umat beragama yang sangat menjungjung tinggi moralitas. Tak kecuali turut merayakan Valentine Day (hari kasih sayang) bersama kawula muda dunia lainnya. Bagi agama Hindu masalahnya bukan dari mana, produk budaya apa suatu perayaan itu, melainkan lebih melihat pada nilai apa yang didapat dari peringatan itu. Kalau ternyata dalam praktek perayaan hari kasih sayang itu lebih dominan menampilkan sisi hura-hura, pelampiasan kasih sayang ragawi (nafsu birahi) yang bahkan oleh suatu media disebut sebagai hari “penyerahan perawan” jelas dengan tegas bahkan keras ditolak.
Hari apapun yang hendak diperingati atau dirayakan haruslah lebih menekankan pada esensi nilai bukan kemasan seremoninya. Dan lagi pula kalau memang kita sudah mulai menghayati apa sesungguhnya arti “kasih sayang/cinta kasih” itu maka tanpa menunggu datangnya tanggal 14 Februari pun yang namanya rasa kasih sayang atau cinta kasih dapat direalisasikan ke dalam bentuk perbuatan angawe sukanikanang won glen. Mulai dari mangasihi, menyayangi, dan mencintai diri sendiri, orang tua, saudara sampai kepada Bhatara-Bhatari dan memuncak pada Hyang Widhi.
Dalam ajaran Hindu sendiri apa yang disebut dengan cinta kasih tidak lain merupakan konsep bhakti. Bhakti itu artinya luapan perasaan cinta kasih atau kasih sayang yang dilandasi kebersihan pikiran, kesucian hati dan ketulus iklasan yang tanpa pamrih. Bhakti itu dapat ditujukan kepada orang tau dengan hormat dan patuh padanya. Kepada saudara dengan menghargainya, kepada teman dengan kesetia kawanan dan kepada Bhatara-Bhatari serta Hyang Widhi melalui media persembahan dan atau persembahyangan. Kesemua wujud bhakti tersebut merupakan realisasi dari kasih sayang/cinta kasih yang hakiki. Dan itu bisa dilakukan setiap hari, kapan saja dan dimanapun berada.
Jadi bila ditanyakan relevansi Valentine Day menurut Hindu memang memiliki nilai esensi yang sama dengan ajaran bhakti. Tetapi yang membedakannya sebagaimana sudah menggejala adalah prakteknya yang sudah mulai menyimpang. Tidak lagi menekankan pada sisi keagungan arti sebuah cinta/kasih sayang itu melainkan sudah mengikuti trend budaya barat yang lebih menampilkan sisi cinta sebagai dorongan nafsu ragawi. Maka tak heran Valentine Day banyak diisi dengan acara hura-hura bahkan seperti disinyalir media ibukota sudah mengarah pada praktek seks bebas sampai dengan penyerahan perawan. Jika sudah sampai sejauh itu, tentu bahasa agama hanya bisa mengingatkan kawula muda Hindu untuk kembali pada konsep bhakti yang lebih bernilai luhur dan berphahala kemuliaan dari pada sekedar mengikuti trend Valentine Day yang belum tentu berguna dan sesuai dengan budaya Hindu.
Apa bisa Non Hindu Masuk Krama Adat ?
Adat dalam pengertian umum mengandung arti sebagai kebiasaan berperilaku. Karena perilaku yang sudah menjadi kebiasaan itu diakui, diterima dan dijadikan sebagai pegangan maka adat menjadi semacam hukum meski kebanyakan tidak tertulis tetapi tetap ditaati oleh anggota komunitas adat tersebut.
Maka begitulah hampir setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai aturan adat yang tentunya berbeda-beda nuansa budayannya. Terkait dengan adat yang tumbuh berkembang di Bali, maka persoalannya tidaklah semata-mata sebagai kebiasaan berperilaku yang berhubungan dengan segi-segi social kemasyarakatan melainkan berkaitan juga dengan akar budaya yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu. Maka begitulah, berbicara perihal adat di Bali pasti tidak bisa dilepaskan dengan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh semangat spiritual agama Hindu.
Yang disebut sebagai “krama adat” suatu banjar atau desa sehingga disebut banjar adat dan desa adat, sepertinya menjadi otomatis berada dalam pengertian anggota/krama yang beragama Hindu. Sebab keberadaan banjar adat dan desa adat muncul sebagai perwujudan dari konsep ajaran agama Hindu yang disebut dengan Tri Hita Karana yang melingkupi “sukreta tata parhyangan” yaitu hubungan harmonis dengan Tuhan yang direalisasi dengan sraddha dan bhakti ke hadapan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya melalui kegiatan persembahan dan persembahyangan di pura-pura wilayah banjar/desa adat yang bersangkutan.
Lalu “sukreta tata pawongan” yaitu hubungan harmonis dengan sesama krama adat yang dijalin oleh ikatan seguluk-sagilik salunglung sabayantaka. Dan kemudian “sukreta tata palemahan” yaitu hubungan harmonis dengan alam lingkungan tempat dimana manusia dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya.
Bagi warga krama adat yang kebetulan tidak/bukan beragama Hindu, persoalan akan muncul saat yang bersangkutan harus memenuhi kewajiban yang berhubungan dengan “sukreta tata parhyangan” dimana ada ketentuan yang akan mengaturnya untuk ikut aktif dalam segala kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama Hindu. Misalnya ngayah di Pura, peson-peson upakara, ngewangun pura termasuk yang berhubungan dengan pelaksanaan adat perkawinan (Hindu), pemendeman (penguburan), pengabenan, dll.
Berdasarkan realita tersebut diatas, maka adalah bijaksana bagi pengurus suatu banjar/desa adapt untuk tidak begitu saja menerima orang yang bukan/tidak memeluk agama Hindu dimasukan sebagai anggota. Yang bersangkutan mungkin hanya bisa diterima sebagai anggota krama banjar atau desa secara administrasi saja yang lazim disebut dengan “mebanjar dinas/medesa dinas” yang mana hak dan kewajibannya terbatas terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah administasi kependudukan saja.
Ketut Suni Menuju Olimpade
Kita patut berbangga sebagai Warga Desa Tamblang, Ni Ketut Suni, kelas 5 SD, Desa Tamblang Singkung (anakanya Bpk Sumana), berhasil mewakili Bali dalam kejuaraan Olimpiade usia dini untuk cabang Bulu Tangkis, yang akan diselenggarakan awal Agustus, Di GOR Ragunan (Jakarta-Selatan), mohon doa dan dukungannya bagi semua warga Desa Tamblang agar bisa berprestasi maksimal di kejuaraan tersbut.
Mudah-mudahan Desa Tamblang bisa lebih maju, dalam berprestasi tentunya, tak di cabang bulu tangkis aja, mungkin di cabang-cabang lainnya juga di harapkan lebih berprestasi juga, seperti cabang Bola volly, Futsal, dll, selamat kepada Ketut Suni, maju terus...
Misteri Nenek yang Hilang di Bubu
Seminggu ini masyarakat Desa Tamblang disibukkan dengan hilangnya seorang nenek yang bernama Men Suliati. Telah tiga hari menghilang dari rumah setelah dari upacara ngaben terus mencari kayu bakar, saat itulah nenek tersebut tersesat.
Mungkin karena bingung atau disembunyikan “wong samara”. Tapi setelah ditabuhkan gong pada hari ini (16 Juli 2008) dadong ditemukan di tukad bubu yang banyak tebingnya dan bojognya, nenek ini (Men Suliati) didapatkan dengan selamat dan langsung dirawat oleh pihak keluarga. Atas kejadian ini masyarakat Desa Tamblang bertanya-tanya, apa mungkin tersesat atau di sembunyikan wong samar istilah Tamblang liplipang memedi.
saat ini Men Suliati belum bisa di mintai keterangan, kita tunggu kabar selanjutnya.
Aktualisasi Galungan
Hari suci Galungan dan Kuningan pada hakikatnya merupakan satu kesatuan upacara ritual yang menyimbolisasikan tentang perjuangan panjang dharma dalam rangka menghadapi sekaligus kemudian berhasil mengalahkan adharma. Sebenarnya kalau diurut, rangkaian upacara piodalan jagat ini bukanlah hanya Galungan dan Kuningan saja. Tumpek Wariga, Sugihan, Penyekeban, Penyajaan, Penampahan, Pemaridan Guru, Ulihan Pemacekan Agung sanpai Pegat Wakan kesemuannya merupakan satu kesatuan dalam rangkaian hari suci Galungan. Dan keseluruhan rangkaian upacara Galungan mulai dari Tumpek Wariga sampai Pegat Wakan, pada dasarnya merupakan media ritual yang sarat dengan symbol pendakian spiritual sekaligus pengokohan sraddha dan bhakti.
Hanya saja, boleh jadi karena umat belum begitu memahami hakikat sebenarnya, maka akhirnya makna Galungan dan Kuningan sebatas diartikan dalam kata-kata seperti slogan, kemenangan dharma melawan adharma. Jika di Tanya dharma itu apa, bagaimana wujud dharma, bagaimana caranya dharma menang perang melawan adharma dan dimanakah sesungguhnya keberadaan dharma dan adharma, maka kita acapkali dibuat bingung, sudah dharmakah kita?
Kebingungan kita terhadap makna hakiki dari Galungan dan Kuningan lebih banyak disebabkan oleh penekanan umat terhadap pelaksanaan aktivitas keagamaan pada aspek ritual. Dalam pandangan umat kebanyakan, seakan-akan dengan hanya berupacara yajna lengkap dengan berbagai jenis dan tingkatan upacara bantennya sudah cukup berbhakti kepada-Nya. Seolah-olah dengan kegairahan dan kesemarakan berupacara ritual, sradha dan bhakti umat sudah cukup memenuhi syarat sebagai umat beragama. Benarkah demikian?
Jawaban atas pertanyaan ini dapat dicarikan rujukannya pada tujuan sejati agama Hindu yang menyasar pada dua aspek yaitu kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Dua aspek tujuan dharma ini kemuadian patut diwujudnyatakan dalam aktivitas keseharian hidup baik sebagai umat beragama maupun sebagai insani pribadi dan warga masyarakat. Dalam konteks Galungan dan Kuningan misalnya, sebagai umat Hindu kita wajib turut merayakan sebagaimana para leluhur kita sudah dengan baik melaksanakannya. Tetapi tidak cukup dengan mengedepankan symbol-simbol ritual saja lalu bertepuk dada berkata adharma telah berhasil dikalahkan oleh adharma.
Yang dikehendaki adalah secara pribadi dimbol kemenangan dharma atas adharma itu harus terefleksi dalam sikap hidup keseharian dengan sesama. Jani makna Galungan dan Kuningan hendaknya tidak semata-mata di tafsir secara ritual dan sloganitis, tetapi jauh dari itu yaitu sebagai media ritual yang membuat umat Hindu semakin disadarkan bahwa di kehidupan ini, dharma itu wajib diaktualisasikan secara kongkrit sehingga berguna tidak saja bagi diri sendiri tetapi juga bagi kesejateraan dan kebahagiaan umat manusia. Sudah saatnya umat Hindu menjadikan symbol-simbol ritual sebagai moment meningkatkan kesadaran sang diri untuk berbhakti tidak saja kapda Hyang Widhi, Bhatara-Bhatari tetapi juga kepada sesama insani.
Ngaben : Menuju Api
Asal-usul kata ngaben sampai saat ini masih bervariasi. Ada yang mengatakan kata Ngaben berasal dari kata “abu” dengan melihat hasil akhir pembakaran mayat. Ada pula yang berpendapat bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “ngabenin” dengan mengamati betapa banyak biaya yang dihabiskan. Dan ada juga yang beragumentasi bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “ngabain” dengan alasan sang mati “dibekali” (membawa) sesuatu yang masih berhubungan dengan material untuk perjalanan roh ke alamnya.
Diantara pendapat diatas, ada satu pendapat lagi yang terkait dengan pertanyaan itu. Bahwa kata Ngaben itu berasal dari kata “api”. Kata api mendapat presfiks “ng” menjadi “ngapi” dan mendapat sufiks “an” menjadi “ngapian” yang setelah mengalami proses sandi menjadi “ngapen”. Dan karena terjadi perubahan fonem “p” menjadi “b” menurut hukum perubahan bunyi “b-p-m-w” lalu menjadi “ngaben”. Dengan demikian kata Ngaben berarti “menuju api”.
Adapun yang dimaksud api di sini adalah Brahma (Pencipta). Itu berarti atma sang mati melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma-loka yaitu linggih Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam Mencipta (utpeti) .
Sesungguhnya ada dua jenis api yang dipergunakan dalam upacara Ngaben yaitu Api Sekala (kongkret) yaitu api yang dipergunakan untuk membakar jasad atau pengawak sang mati dan Api Niskala (abstrak) yang berasal dari Weda Sang Sulinggih selaku sang pemuput karya yang membakar kekotoran yang melekati sang roh. Proses ini disebut “mralina”.
Di antara dua jenis api dalam upacara Ngaben itu, ternyata yang lebih tinggi nilainya dan mutlak penting adalah api niskala atau api praline yang muncul dari sang Sulinggih. Sang Sulinggih (sang muput) akan memohon kepada Dewa Siwa agar turun memasuki badannya (Siwiarcana) untuk melakukan “pralina”. Mungkin karena api praline dipandang lebih mutlak/penting, dibeberapa daerah pegunungan di Bali ada pelaksanaan upacara Ngaben yang tanpa harus membakar mayat dengan api, melainkan cukup dengan menguburkannya. Upacara Ngaben jenis ini disebut “bila tanem atau mratiwi”. Jadi ternyata ada juga upacara Ngaben tanpa mengunakan api (sekala). Tetapi api niskala/api praline tetap digunakan dengan Weda Sulinggih dan sarana tirtha praline serta tirtha pangentas.
Lepas dari persoalan api mana yang lebih penting. Khusus tentang kehadiran api sekala adalah berfungsi sebagai sarana yang akan mempercepat proses peleburan sthula sarira (badan kasar) yang berasal dari Panca Mahabutha untuk menyatu kembali ke Panca Mahabhuta Agung yaitu alam semesta ini. Proses percepatan pengembalian unsure-unsur Panca Mahabhuta ini tentunya akan mempercepat pula proses penyucian sang atma untuk bisa sampai di alam Swahloka (Dewa Pitara) sehingga layak dilinggihkan di sanggah/merajan untuk disembah. Tentunya setelah melalui upacara “mamukur” yang merupakan kelanjutan dari “Ngaben”.
Nista tak Sama dengan Hina
Hakikat agama Hindu adalah jalan mencapai kesejahteraan dan kebahagian (jagadhita dan moksa). Karena itu dalam menjalankan ajaran agama Hindu dengan bermacam kewajiban terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan yajna telah diberikan pedoman untuk selalu “menyusuaikan diri” dengan kemampuan dan keiklasan. Kalau kemampuan berhubungan dengan kuantitas (materi) sedang keiklasan berkaitan dengan kualitas (rohani/bhakti).
Jika kemampuan materinya memungkinkan bisa memilih tingkatan upacara/upakara “madya” (dari madyaning nista sampai madyaning uttama) dan kalau kemampuan materinya biasa-biasa saja, maka pilihan boleh jatuh pada tingkatan upacara/upakara “nista” (dari nistaning nista sampai uttamaning nista).
Kesemua tingkatan itu sesungguhnya lebih bermakna sebagai kuantitas materi (banyak sedikit atau besar kecil). Dan dalam konteks yajna sebagai suatu persembahan/bhakti, dan tingkatan upacara/upakara yang manapun termasuk yang uttamaning utama tidak akan berarti apa-apa jika tidak dilandasi oleh kualitas diri “sang meduwe karya” (kebersihan diri, kesucian pikiran, keikhlasan hati, dan tanpa pamrih). Itu artinya, ada istilah, “Nista-Madya-Uttama” hanyalah sebatas bermakna sebagai kuantitas materi. Yang justu paling penting adalah kualitas diri (hati, rohani, bathin). Dan yang terbaik adalah perpaduan antara kuantitas materi dengan kualitas diri.
Jadi sebutan “nista” tidaklah dapat diartikan sebagai padanan kata “rendah” atau “hina”. “Nista” dalam konteks materi-ritual hanya berarti “kecil/sedikit”. Namun dalam konteks rohani spiritual, kuantitas materi tidak begitu di perhitungkan. Yang terpenting dan utama adalah kuantitas diri (hati, rohani, bathin). Bahkan sebuah upacara dengan tingkatan upakara uttamaning uttama sekalipun bisa-bisa menjadi nista dalam arti sebenarnya (rendah/hina) lantaran tidak didukung oleh kualitas bhakti. Contoh membangun pura dengan megah, ngaturang upakara banten kualitas mewah, tetapi hanya didorong oleh sebuah gengsi untuk dikagumi, dihormati atau agar dipandang hebat, meski dana untuk semua itu diperoleh dari KKN. Sebaliknya, meski dengan hanya memiliki sanggah Turus Lumbung dan menghaturkan “banten agenepan” namun karena dilandasi kualitas bhakti (tulus, ikhlas dan tanpa pamrih) justru akan bernilai utama.
Singkat kata, untuk yang berhubungan dengan pengorbanan atau persembahan sebagai wujud pelaksanaan ajaran yajna, landasan yang utama adalah kualitas bhakti bukan materi. Materi boleh “nista” tetapi kualitas bhakti harus “utama”. Sudah saatnya kita mengarahkan praktek-praktek yajna kepada landasannya yang hakiki/esensi yaitu “ uttamaning bhakti” bukan “uttamaning materi”.
Apa Benar Bhuta Kala Berwujud Menyeramkan?
Bhuta Kala berasal dari dua kata yaitu “Bhuta” dan “Kala”. Kata Bhuta itu sendiri berasal dari akar kata “Bhu” yang artinya ada, menjadi atau wujud. Secara keseluruhan Bhuta memiliki arti “telah diadakan atau dijadikan”. Dalam perkembangannya kata Bhuta mengandung arti sebagai unsure-unsure yang menjadikan makrocosmos (bhuwana agung) dan mikrocosmos (bhuwana alit) yang lazim disebut Pancamahabhuta. Sedangkan kata Kala (ditulis dengan a panjang) berarti energi, tenaga atau kekuatan. Kalau Kala (ditulis dengan a pendek) berarti waktu.
Dewa Siwa misalnya dalam fungsinya sebagai “pemralina” disebut sebagai Mahakala artinya kekuatan yang maha hebat. Palinggih Taksu yang ada di Sanggah/Merajan adalah juga sthana dari Sanghyang Kalaraja yang bermakna sebagai sumber energi yang memberikan kehidupan. Lain halnya dengan kata Kala Mretyu yang berarti waktu kematian.
Kesimpulannya, Bhuta Kala berarti kekuatan alam yang maha besar sebagai suatu manifestasi kehendak Hyang Widhi dalam mengatur alam semesta ini.
Secara filosofis pengertian Bhuta Kala cenderung berarti negative, karena merupakan kekuatan yang lahir dari adanya ketidak harmonisan antara makrocosmos dan mikrocosmos. Antara lain berupa kekeruhan suasana, perasaan hati yang gusar, nafsu-nafsu negative, gelap mata. Sebaliknya tercipata hubungan yang harmonis antara kedua bhuwana itu maka timbullah suasana baik, ketentraman hati, perasaan seni, sifat-sifat dharma.
Dan lantaran Bhuta Kala itu lebih dipandang sebagai kekuatan negative, maka dalam penggambarannya secara awam acapkali difersonifikasikan sebagai makhluk yang mempunyai wujud atau rupa menyeramkan atau mengerikan.
Muncullah kemuadian kepercayaan bahwa untuk memulihkan kembali keharmonisan yang sempat terganggu oleh kekuatan-kekuatan (alam) yang negative, maka diadakanlah apa yang disebut sebagai upacara Bhuta Yajna, di antaranya dengan melaksanakan “pecaruan”. Hakikat upacara caru ini tidak lain sebagai media ritual untuk mengharmoniskan kembali hubungan bhuwana agung dengan bhuwana alit.
Dan satu hal yang patut diketahui bahwa sesungguhnya pada diri manusia sebagai bhuwana alit telah pula terwujud sosok Bhuta Kala selain wujud Dewa. Itulah sebabnya manusia bisa disebut Bhuta (bhuta ya) bila menampilkan perilaku negative seperti buta hati, gelap mata, peteng pitu, sad ripu. Sementara bila mampu menunjukkan sifat-sifat sebaliknya seperti tenang, penuh rasa damai, bijaksana, dll maka disebutlah manusia itu sebagai Dewa (Dewa ya).
Jadi, apa yang digambarkan bahwa Bhuta Kala itu sebagai sosok makhluk yang menyeramkan sekaligus mengerikan ada benarnya. Paling tidak akan tergambar pada sosok manusia yang sedang kemasukan Bhuta Kala dan segala ciri perilakunya yang negative dan merugikan orang lain.