E-mail : desa_tamblang@ymail.com

Apa bisa Non Hindu Masuk Krama Adat ?

Adat dalam pengertian umum mengandung arti sebagai kebiasaan berperilaku. Karena perilaku yang sudah menjadi kebiasaan itu diakui, diterima dan dijadikan sebagai pegangan maka adat menjadi semacam hukum meski kebanyakan tidak tertulis tetapi tetap ditaati oleh anggota komunitas adat tersebut.

Maka begitulah hampir setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai aturan adat yang tentunya berbeda-beda nuansa budayannya. Terkait dengan adat yang tumbuh berkembang di Bali, maka persoalannya tidaklah semata-mata sebagai kebiasaan berperilaku yang berhubungan dengan segi-segi social kemasyarakatan melainkan berkaitan juga dengan akar budaya yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu. Maka begitulah, berbicara perihal adat di Bali pasti tidak bisa dilepaskan dengan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh semangat spiritual agama Hindu.

Yang disebut sebagai “krama adat” suatu banjar atau desa sehingga disebut banjar adat dan desa adat, sepertinya menjadi otomatis berada dalam pengertian anggota/krama yang beragama Hindu. Sebab keberadaan banjar adat dan desa adat muncul sebagai perwujudan dari konsep ajaran agama Hindu yang disebut dengan Tri Hita Karana yang melingkupi “sukreta tata parhyangan” yaitu hubungan harmonis dengan Tuhan yang direalisasi dengan sraddha dan bhakti ke hadapan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya melalui kegiatan persembahan dan persembahyangan di pura-pura wilayah banjar/desa adat yang bersangkutan.

Lalu “sukreta tata pawongan” yaitu hubungan harmonis dengan sesama krama adat yang dijalin oleh ikatan seguluk-sagilik salunglung sabayantaka. Dan kemudian “sukreta tata palemahan” yaitu hubungan harmonis dengan alam lingkungan tempat dimana manusia dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya.

Bagi warga krama adat yang kebetulan tidak/bukan beragama Hindu, persoalan akan muncul saat yang bersangkutan harus memenuhi kewajiban yang berhubungan dengan “sukreta tata parhyangan” dimana ada ketentuan yang akan mengaturnya untuk ikut aktif dalam segala kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama Hindu. Misalnya ngayah di Pura, peson-peson upakara, ngewangun pura termasuk yang berhubungan dengan pelaksanaan adat perkawinan (Hindu), pemendeman (penguburan), pengabenan, dll.

Berdasarkan realita tersebut diatas, maka adalah bijaksana bagi pengurus suatu banjar/desa adapt untuk tidak begitu saja menerima orang yang bukan/tidak memeluk agama Hindu dimasukan sebagai anggota. Yang bersangkutan mungkin hanya bisa diterima sebagai anggota krama banjar atau desa secara administrasi saja yang lazim disebut dengan “mebanjar dinas/medesa dinas” yang mana hak dan kewajibannya terbatas terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah administasi kependudukan saja.

No comments:

Post a Comment