E-mail : desa_tamblang@ymail.com

Jenis Dresta Mana yang Tertinggi

Dalam hal praktek keagamaan, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya dengan lebih berpijak pada “acara” (tradisi). Tradisi mana tentunya tetap mengacu pada sumber tertinggi (Sruti) namun dalam pengalamannya lebih ditampilkan wujud perilaku (etika) dan wujud materi (upacara/upakara yajna). Sedangkan wujud ide/nilai berupa pengetahuan (jnana) cenderung dikesampingkan (gugon tuwon). Itulah sebabnya, dalam hal menjalankan tradisi keagamaan umat Hindu benar-benar dapat dengan “pageh” mempertahankan “tetamian” leluhur itu.

Tradisi leluhur dalam hal menerapkan ajaran agama Hindu inilah yang kemudian berkembang menjadi “dresta” yang arti dan maknanya lebih luas yaitu sebagai pandangan dari suatu masyarakat mengenai tata krama dalam menjalankan hidup dan kehidupan di masyarakat (desa pekraman). Dan karena setiap masyarakat dalam lingkup desa/wilayah berbeda latar belakangnya (sosial, ekonomi, budaya, sifat keagamaan), maka meski tidak menjolok, yang namanya penampilan yang berbeda-beda pasti akan selalu muncul dan mewarnai perilaku kehidupan antara masyarakat yang satu dengan yang lainya.

Muncullah kemudian istilah pembenaran untuk suatu perbedaan itu seperti : desa-kala patra (perbedaan menurut tempat-waktu dan keadaan), desa mawa cara (setiap wilayah mempunyai cara/kebiasaan yang berlainan), Negara yang mawa tata (setiap Negara memiliki tata cara tersendiri) dan akhirnya lahir pula istilah “dresta” yang jenisnya ada empat (Catur Dresta) dan acuan pembenarannya bervariasi, yaitu :

1. Purwa Dresta
sering juga disebut Kuna Dresta, adalah suatu pandangan lama yang muncul sejak dahulu dan terus dijadikan sebagai pedoman dari generasi pelaksanaan nyepi dengan Catur Bratanya.

2. Loka Dresta
adalah suatu pandangan local yang hanya berlaku pada suatu daerah/wilayah. Contohnya, tradisi tidak membakar mayat di daerah/wilayah Bali pegunungan (Bali Mula)

3. Desa Dresta
tidak jauh berbeda dengan pengertian Loka Dresta, di mana suatu pandangan yang sudah mentradisi dan hanya berlangsung di suatu desa tertentu saja. Contohnya, tradisi Ngusaba umumnya dilakukan di desa-desa Bali Timur, sedang di Bali ke barat tidak begitu lumbrah.

4. Sastra Dresta
merupakan suatu pandangan yang dasar pijakannya adalah satra atau pustaka-pustaka agama yang mengacu pada kitab suci Weda. Misalnya : Manawadharmasastra, Sarasamuscaya, Bhagawadgita, dan lain-lain. Termasuk lontar-lontar yang berisi petunjuk praktis dari pelaksanaan upacara yajna.

Dilihat dari sumber pijakan atau acuannya, maka di atantara ke empat dresta itu mempunyai posisi tertinggi sebagai pedoman dalam melaksanakan ajaran agama adalah Sastra Dresta baik yang berstatus Sruti maupun Smrti, di mana keduanya merupakan Dharma Satra sumber kebenaran agama dan sebagai Daiwi Walk – Wahyu Tuhan itu sendiri.

No comments:

Post a Comment