E-mail : desa_tamblang@ymail.com

Arti Tirtha dan Jenis Tirtha dalam Persembahyangan

Tirtha pada dasarnya adalah air yang telah melalui proses pembersihan dan penyucian secara ritual sehingga bersifat sakral dan diyakini dapat menumbuhkan perasaan dan atau pikiran yang suci. Untuk mendapatkan tirtha ada dua macam cara yaitu :

Pertama, dengan cara naur (memohon) yang dapat dilakukan oleh pinandita (pemangku, dalang, balian termasuk sang yajamana (umat yang sedang menyelenggarakan upacara yajna).

Kedua, dengan cara makarya (membuat) yang hanya bisa dilakukan oleh seorang pandita (orang yang sudah madwijati)

Terkait dengan tirtha persembahyangan, baik yang didapat dengan nuur maupun makarya pada garis besarnya dibedakan menjadi dua jenis sesuai dengan fungsinya yaitu :

Tirtha pembersihan (pembersihan) dan tirtha wangsuhpada yang sering juga disebut kekuluh atau banyun cokor. Fungsi tirtha pembersih sesuai dengan namanya adalah untuk membersih-sucikan upakara (bebanten) yang dipakai sebagai sarana persembahyangan dan juga diri sendiri agar terbebas dari kekotoran. Karena itu penggunaan tirtha pembersih ini dilakukan sebelum inti persembahyangan dimulai. Biasanya di jaba sebuah pura akan disediakan jenis tirtha ini dan di jeroan sebelum pemimpin upacara “ngantebang upakaraning bebanten “ akan menyiratkan tirtha pembersih.

Setelah upacara persembahan dan persembahyangan selesai dilanjutkan dengan “nunas tirtha” wangsuhpada dari Ida Bhatara yang disembah. Tirtha wangsuhpada atau kekuluh atau banyun cokor Ida Bhatara ini adalah lambang waranugraha-Nya kepada umat yang sujud sembah-bhakti memuja beliau berupa “amrta” yaitu kerahajengan dan kerahayuan hidup.

Jadi, dalam suatu persembahyangan, jenis tirtha ini bisa juga dibedakan menurut waktu penggunaannya yaitu tirtha pembersihan sebagai tirtha pembukaan untuk membersihsucikan fisik-material (dari sendiri dan upakara bebanten) dan tirtha wangsuhpada sebagai penutup persembahyangan yang menyimboliskan bahwa atas sembah-bhakti kita beliau berkenan memberikan wananugraha berupa karahajengan dan kerahayuan hidup.

Bagi umat Hindu sebagai disuratkan di dalam kitab suci Bhagavadgita IV, 26 penggunaan air yang kemudian diproses ritual menjadi tirtha, bukanlah sekedar pemanfaatan benda cair itu secara fisikal. Lebih jauh dari itu adalah nuansa sakral dari air suci itu dalam menumbuhkan jiwa spiritual umat agar dirinya terbebas dari segala kekotoran baik yang disebabkan oleh unsur material (badan kotor) maupun unsur immaterial (rohani kotor).

Itu sebabnya, meski nampak sepele percikan air suci yang disebut tirtha itu merupakan lambang kehidupan yang di dalam lontar Paniti Agama Tirtha disebut “tirtha ngaran amrta”: tirtha adalah hidup. Artinya, tirtha itulah penyebab umat dan Agama Hindu itu tetap eksis. Tanpa tirtha umat dan Agama Hindu akan kering lalu mati. Sebaliknya dengan tirtha, dahaga lahir dan batin akan terpuaskan dalam kehidupannya.

No comments:

Post a Comment