E-mail : desa_tamblang@ymail.com

Nista tak Sama dengan Hina

Hakikat agama Hindu adalah jalan mencapai kesejahteraan dan kebahagian (jagadhita dan moksa). Karena itu dalam menjalankan ajaran agama Hindu dengan bermacam kewajiban terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan yajna telah diberikan pedoman untuk selalu “menyusuaikan diri” dengan kemampuan dan keiklasan. Kalau kemampuan berhubungan dengan kuantitas (materi) sedang keiklasan berkaitan dengan kualitas (rohani/bhakti).

Jika kemampuan materinya memungkinkan bisa memilih tingkatan upacara/upakara “madya” (dari madyaning nista sampai madyaning uttama) dan kalau kemampuan materinya biasa-biasa saja, maka pilihan boleh jatuh pada tingkatan upacara/upakara “nista” (dari nistaning nista sampai uttamaning nista).

Kesemua tingkatan itu sesungguhnya lebih bermakna sebagai kuantitas materi (banyak sedikit atau besar kecil). Dan dalam konteks yajna sebagai suatu persembahan/bhakti, dan tingkatan upacara/upakara yang manapun termasuk yang uttamaning utama tidak akan berarti apa-apa jika tidak dilandasi oleh kualitas diri “sang meduwe karya” (kebersihan diri, kesucian pikiran, keikhlasan hati, dan tanpa pamrih). Itu artinya, ada istilah, “Nista-Madya-Uttama” hanyalah sebatas bermakna sebagai kuantitas materi. Yang justu paling penting adalah kualitas diri (hati, rohani, bathin). Dan yang terbaik adalah perpaduan antara kuantitas materi dengan kualitas diri.

Jadi sebutan “nista” tidaklah dapat diartikan sebagai padanan kata “rendah” atau “hina”. “Nista” dalam konteks materi-ritual hanya berarti “kecil/sedikit”. Namun dalam konteks rohani spiritual, kuantitas materi tidak begitu di perhitungkan. Yang terpenting dan utama adalah kuantitas diri (hati, rohani, bathin). Bahkan sebuah upacara dengan tingkatan upakara uttamaning uttama sekalipun bisa-bisa menjadi nista dalam arti sebenarnya (rendah/hina) lantaran tidak didukung oleh kualitas bhakti. Contoh membangun pura dengan megah, ngaturang upakara banten kualitas mewah, tetapi hanya didorong oleh sebuah gengsi untuk dikagumi, dihormati atau agar dipandang hebat, meski dana untuk semua itu diperoleh dari KKN. Sebaliknya, meski dengan hanya memiliki sanggah Turus Lumbung dan menghaturkan “banten agenepan” namun karena dilandasi kualitas bhakti (tulus, ikhlas dan tanpa pamrih) justru akan bernilai utama.

Singkat kata, untuk yang berhubungan dengan pengorbanan atau persembahan sebagai wujud pelaksanaan ajaran yajna, landasan yang utama adalah kualitas bhakti bukan materi. Materi boleh “nista” tetapi kualitas bhakti harus “utama”. Sudah saatnya kita mengarahkan praktek-praktek yajna kepada landasannya yang hakiki/esensi yaitu “ uttamaning bhakti” bukan “uttamaning materi”.

No comments:

Post a Comment