E-mail : desa_tamblang@ymail.com

Pengabenan Bersama Desa Pakraman Tamblang

Desa Pakraman Tamblang Tahun 2008

OM SWASTIASTU,

I. Acuan

Sreyan Sradharmo Vigunah
Paradharmat Svamusthitat
Svadharma Nidhanam Sreyah
Paradharmo Bhagarahah (Bhagawad Gita III, 35)

Adapun lebih baik melakukan dharma sendiri walaupun tidak sempurna, daripada melaksanakan dharma orang lain walaupun dengan baik, lebih baik mati dalam tugas sendiri daripada melakukan kewajiban orang lain yang sangat berbahaya.

Tugas dan tanggungjawab sendiri haruslah didahulukan, yang tidak berarti mementingkan diri sendiri dan egois. Dari pelaksanaan upacara yang dilakukan secara bersama-sama berdasarkan atas kebersamaan, maka sifat saling asih, asah dan asuh salulung sabayantaka dapat dicapai dimana ajaran Tat Twam Asi merupakan dasarnya.

Dicapainya suatu kemufakatan dari musyawarah yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan mengenai biaya, sarana upacara, pemuput serta waktu pelaksanaan walaupun dilakukan secara sederhana tanpa merasa terbebani, tidak lepas dari makna upacara yang dilakukan sesuai dengan Desa, Kala Tatwa yang sudah ada.

Dalam ajaran Hindu, kewajiban orang tua adalah menyucikan pribadi anaknya secara utuh lahir maupun batin. Dalam keluarga Hindu upacara ini dilakukan dengan formal sesuai dengan ritual upacara keagamaan yang disebut dengan upacara Manusia Yadnya. Upacara Manusia Yadnya dilakukan dari bayi berada 7 (tujuh) bulan didalan kandungan (megedong-gedongan), kelahiran bayi (mapag rare), kepus pungsed (nelahin), bayi berumur 42 hari (tutug kambuhan), telung sasih (nyambutin), tumbuh gigi (ngempugin), ketus gigi (dapetan), upacara selanjutnya adalah upacara otonan dimana bayi berumur 210 hari yang disebut dengan otonan tuwun, yang artinya bayi untuk pertama kali secara resmi boleh diturunkan menginjak tanah, serta ketika anak laki-laki berumur 14 tahun dan atau anak wanita sudah mengalami datang bulan yang pertama maka diadakan upacara Ngeraja Sewala atau Metatah.

Upacara Metatah ini menandakan bahwa anak yang sudah meningkat remaja sudah memiliki sifat-sifat utama sebagai cirri sudah makin dewasa. Sifat-sifat utama itu adalah suatu kemampuan yang secara bertahap menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk. Kebiasaan buruk inilah yang merupakan perwujudan dari sifat-sifat Sad Ripu. Perwujudan Sad Ripu ini akan bisa ditekan dengan bimbingan orang tua serta guru-guru yang ada, sehingga kebiasaan buruk Sad Ripu akan berubah menjadi Sad Guna. Pada saat Metatah gigi yang dipapar adalah gigi yang berada dibagian rahang atas yang merupakan lambang dari sifat kedewaan, sedangkan gigi dibagian rahang bawah adalah merupakan lambang dari sifat-sifat keraksasaan.

Hidup yang baik adalah hidup yang mampu menguasai sifat-sifat keraksasaan dengan bantuan kekuataan dari sifat kedewaan. Orang-orang yang mampu menguasai sifat-sifat keraksasaanlah yang akan mendapat karunia dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kalau orang tua yang mampu membina anaknya akan menumbuhkan sifat-sifat baik, luhur dan menghilangkan sifat-sifat buruk itulah orang tua yang berhasil sesungguhnya.

Puncak kewajiban orang tua terhadap jenjang kehidupan anaknya adalah mengawinkan anaknya (pawiwahan).

Didalam Upanisad disebutkan “Matri Deva Bhava, Pitri Deva Bhava” yang berarti bahwa ayah dan ibu ibarat dewa didalam keluarga, karena itu berbakti kepada orang tua dan leluhur merupakan kewajiban suci bagi setiap putra yang seputra. Anak harus berbakti kepada orang tuanya, baik semasa hidupnya maupun setelah orang tua meninggal dunia. Pada saat orang tuanya meninggal, anak yang seputra mempunyai kewajiban untuk menyucikan roh leluhurnya. Upacara untuk menyucikan roh leluhurnya inilah dalam ajaran Agama Hindu Bali disebut dengan upacara Pitra Yadnya.

Proses ritual dari upacara ini melalui dua proses yaitu upacara yang bertujuan mengembalikan unsur Panca Maha Buta yang disebut Ngaben, serta upacara Atma Wedana dimana didalamnya termasuk upacara ngangget don bingin, mepegat, meajar-ajar serta ngelinggihang dimana upacara ini bertujuan untuk melepaskan atma dari ikatan suksma sarira.

Upacara nuntun dewa hyang adalah kelanjutan daripada upacara atma wedana yang diakhiri dengan upacara meajar-ajar atau meayu-ayu. Upacara ini merupakan uapacara Dewa Yadnya karena kedudukan roh atau atma sudah identik dengan dewa. Karena atma dianggap identik dengan dewa maka disebut Dewa Pitara atau Dewa Hyang Pitara. Upacara ini pada hakekatnya wajib dilakukan sesuai dengan kemampuan umat. Di masyarakat upacara ini disebut dengan berbagai istilah antara lain : Ngelinggihang Dewa Hyang, Dewa Pitara Prastita, Upacara Nuntun Dewa Hyang.

Umumnya upacara Nuntun Dewa Hyang, atau Ngelinggihang Dewa Hyang itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tetapi ada pula yang melakukan Nuntun Dewa Hyang di mulai dari Segara dan ada pula dimulai dari Pura Dalem. Upacara Nuntun ini sering terjadi kekeliruan pelaksanaan, ada yang menganggap upacara nyegara gunung atau meajar-ajar sebagai upacara Nuntun Dewa Hyang, padahal dari segi upacara/upakara pelaksanaannya maupun tata upacaranya masing-masing sudah berdiri sendiri. Meajar-ajar merupakan upacara Pitra Yadnya sedangkan upacara Nuntun Dewa Hyang merupakan upacara Dewa Yadnya.

Penjelasan yang jelas sangat diperlukan oleh setiap umat tentang pelaksanaan upacara ini agar jangan sampai terjadi kesimpangsiuran pandangan serta agar jangan saling menyalahkan satu dengan yang lainnya.

Dewa Pitara itu pada hakekatnya adalah atma individu yang sejati, artinya sudah bebas dari kotoran-kotoran berupa dosa akibat adanya perbuatan (karma). Dengan demikian semestinya sudah kembali kepada asalnya yaitu Paramaatma. Kita sebagai manusia awam tidak akan dapat mengerti hal yang demikian, kecuali harus dikongkritkan sehingga dapat dilihat, walaupun itu hanya simbol belaka.Bertitik tolak dari kenyataan inilah dikenal adanya upacara Nuntun Dewa Hyang atau upacara Ngelinggihang Dewa Pitara yang diwujudkan dalam simbul-simbul tertentu yang memerlukan perlengkapan untuk memperjelas maksudnya.

Dengan demikian yang dimaksud dengan Ngelinggihang disini adalah tidak lain daripada mempersatukan atma (Dewa Pitara) dengan sumber Atma yaitu Siwatman dan Paratma, untuk mencapai penyatuan ini atma memerlukan penuntunan dengan simbul upacara dan upakaranya.

Adapun fungsi dari upacara ini dilakukan adalah sebagai sarana supaya leluhur dapat memberikan pengayoman serta perlindungan kepada keturunannya disamping untuk dapat menghubungkan umat manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Tujuan dari upacara ini adalah untuk menjalin bakti keturunannya atau sentananya dengan para leluhur disamping juga melalui para leluhur umat lebih mendekatkan dirinya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Pelaksanaan upacara-upacara diatas dapat dilakukan secara sederhana, dimana sesuai dengan apa yang ditulis didalam kitab suci bahwa dengan jalan apapun yang kita tempuh akan dapat menemukan beliau dengan dasar keiklasan serta dengan keyakinan bahwa upacara yang praktis, mudah dipahami, tidak merasa terbebani, berdasarkan filosofi sastra weda, tidak meninggalkan Desa, Kala, Tatwa serta berlandaskan kebersamaan yang menjadi hal yang sangat penting didalam pelaksanaan upacara itu sendiri.

II. Tujuan

Adapun tujuan dari dilaksanakannya upacara secara bersama-sama ini, bertujuan untuk :

1. Melaksanakan kewajiban orang tua untuk melakukan tingkatan upacara manusia yadnya terhadap anaknya .

2. Melaksanakan kewajiban anak yang seputra untuk melakukan proses penyucian roh leluhurnya dengan melaksanakan upacara Ngaben (Sawa Wedana), upacara Atma Wedana, upacara Nuntun Dewa Hyang serta melakukan sembah bakti dengan memperingati Pujawali Dewa Hyang serta Ibu Kawitan.

3. Menanamkan rasa kebersamaan yang makin mendalam diantara sesama Krama Desa Pakraman Tamblang.

4. Melaksanakan upacara secara effektif, effisien dari segi waktu serta biaya tanpa mengurangi makna serta tujuan upacara itu sendiri.

5. Meningkatkan pemahaman dari pelaksanaan upacara upakara yadnya yang akan dilakukan secara periodik.

OM SHANTI, SHANTI, SHANTI OM

Pengirim : Kepala Desa Tamblang Ir. I Nengah Sudarsana

No comments:

Post a Comment