E-mail : desa_tamblang@ymail.com

Pemangku atau Sulinggih dalam Muput Upacara Adat

Ulun Desa Tamblang
Perjalanan Upacara yang berkembang di Desa Pakraman Tamblang sangat dinamis sesuai dengan perkembangan penduduk, kemampuan sumber daya masyarakatnya serta gerak dinamis masyarakatnya didalam bidang melaksanakan upacara adat serta keagamaanya.

Pemuput upacara atau rokhaniawan di Desa Pakraman Tamblang bertumpu kepada Jro Pasek yang merupakan wakil dari soroh Pasek, Tiga orang Pemangku Kahyangan Tiga masing-masing di Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Ketiga Pemangku ini dibantu oleh 8 orang Kubayan yang merupakan perwakilan dari masing-masing dadia yang dulunya duduk di Bale Panjang (tempat paruman perwakilan dari masing-masing dadia) yang sudah duduk di Bale Panjang selama puluhan tahun yang menyebabkan sumber daya dari Kubayan ini sangat kurang karena dengan lamanya duduk di Bale Panjang menyebabkan pada saat menjadi Kubayan umurnya sudah tua. Tingkatan dari Desa Linggih ini mula dari Paider, Sengguu, Bauu, Kubayan dimana tingkatan kenaikan berdasarkan adanya anggota yang meninggal atau mengundurkan diri, itu yang menyebabakan umur kubayan rata-rata diatas 50 Tahun.

Para Kubayan inilah yang membantu Pemangku Kahyagan tiga untuk melakukan aktifitas, Pemangku Kahyangan dipilih berdasarkan perwakilan dari masing-masing dadia yang sudah tentu yang dikirim dari dadia yang sudah disyaratkan oleh Desa Pakraman dengan pengambilan undian yang diambil apabila tercantum Pura yang akan diembon maka sudah pasti yang akan bertugas ditempat.

Ulun Desa Tamblang
Pemangku dan Kubayan ini sudah dari dulu menyelesaikan atau muput upacara Panca Yadnya yang dilakukan di sekitar Desa Pakraman Tamblang, dari upacara yang sederhana sampai upacara yang besar diantara upacara Pengabenan dan Tawur.

Dari permasalahan tersebut timbul suatu perbedaan pendapat yang menjadi bahan diskusi yang tidak pernah putus karena semuanya mempunyai argumentasi yang benar menurut mereka. Masyarakat yang mempunyai prinsip bahwa untuk Banten Pengabenan yang dipuput oleh ulun Desa (sebutan untuk Pemangku Kahyangan Tiga serta para Kubayan) meyakini bahwa ulun desa boleh muput upacara dan upakara dari yang sederhana sampai dengan yang paling besar dengan alasan bahwa semua upacara yang dilakukan di desa dari dulu sudah menggunakan ulun desa anpa mengakibatkan sesuatu yang menurut mereka mengakibatkan bencana atau hal-hal yang diinginkan.

Ada pula yang memberikan argumentasi dihubungkan dengan keberadaan pertamakalinya Desa Pakraman Tamblang berdiri dimana diceritakan bahwa seorang warga Pasek dari Dusun Bayad Desa Tajun dimana pada waktu itu Desa Pakraman Tamblang masih berupa hutan belukar beliau datang ke Tamblang dengan membawa beberapa warganya untuk membukan lahan baru, tibalah di wilayah Timur Desa Pakraman Tamblang dan bergabung dengan beberapa warga yang sudah ada sebelumnya untuk membuka lahan baru untuk pemukiman baru, dari sini berkembanglah masyarakatnya dan mulai memikirkan untuk membuat kelompok-kelompok dan mulai melakukan proses-proses upacara yang dipimpin oleh salah satu warga Pasek tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Pasek Bayad, beliau mulai menata masalah tatanan upacara dan upakara, memyiapkan acara upacara yang dilakukan sampai beliau muput upacara tersebut.

Setelah beliau mendirikan beberapa merajan kemudian beliau berpikir untuk menata serta membuat Kahyangan Tiga sampai beliau meninggal kemudian dikenang oleh masyarakat sebagai seorang yang bisa melakukan prosesi upacara, membuat sarana upacara sampai dengan muput upacara dan kemudian dibuatkan pelinggih di Pura Desa berupa Pelinggih beliau yang kemudian dikenal dengan nama pelinggih Penyiwaan, ditempat inilah menurut beberapa krama Desa Pakraman Tamblang yakin dan percaya untuk memohon tirta prascita sarana upakara, tirta pemuput bakti, tirta pemutus bakti, dari dasar inilah masyarakat mempunyai keyakinan bahwa pemangku dan kubayan yang ada di desa pakraman boleh untuk muput sarana upacara / upakara dari yang paling sederhana sampai dengan yang tingkatannya paling tinggi karena mereka berkeyakinan dengan istilah “Nyiwa Raga”

Dengan perkembangan banyaknya buku-buku tentang ajaran Agama Hindu yang beredar serta makin banyaknya pasraman yang ada mulai ada pertanyaan tentang kewenangan pemangku untuk bisa atau boleh muput upacara-upakara Pitra Yadnya. Ada beberapa warga menyimak tentang bahasa “bisa” atau “boleh” Pemangku untuk muput upacara-upakara Balik sumpah, Tawur dan Ngaben.

Menurut pandangan bebrapa warga bahwa Pemangku yang hanya melakukan tingkatan pembersihan diri sebatas Eka Jati yaitu melakukan upacara pewintenan sekali yang mana lahir secara alami dari rahim ibunya dan Belajar weda hanya sebatas pengastawa banten yang tidak diperkenankan menggunakan alat pemujaan tidak akan mampu muput dan menembuskan bakti krama dibandingkan dengan Sulinggih yang telah melakukan Dwi Jati yaitu mengalami kelahiran dua kali dimana disamping kelahiran dari rahim ibunya juga lahir dari Kaki Guru Suci atau Guru Nabe, dengan kata lain kelahiran yang kedua hanya dapat terjadi setelah yang bersangkutan memperoleh ilmu pengetahuan suci dan kerokhanian melalui aguron-guron (berguru / belajar) kepada guru Nabe, Sulinggih juga sudah melakukan Ayuwun pada Guru Nabe atau metapak pada Sang Adhiguru yang mempunyai makna bahwa Sang Hyang Siwatiga memasuki diri sulinggih.

Apalagi seorang sulinggih sudah melakukan upacara Tri Jati yang sudah pasti karena sudah menjadi Guru Nabe sudah menguasai mantram yang harus dipelajari dihayati dan dilaksanakan karena sorang sulinggih itu mengerti ajaran tatwa, tidak terikat dengan obyek indria dan dapat menghilangkan pahala perbuatan. Dasar inilah yang menjadi bahan argumentasi untuk bisa diharapkan menggunakan sulinggih untuk tingkatan upacara-upacara tertentu.

Sampai saat ini pertentangan yang tidak terbuka masih terus ada dan beberapa dadia serta perorangan yang tidak berkenan menggunakan pemangku melakukan upacara Pitranya per dadia atau perorangan. Hal ini sudah tentu menyebabkan banyaknya sarana upaara dan upakara yang harus dibuat dan sangat mempengaruhi kinerja kerja masyarakat secara keseluruhan, karena di tahun 2008 saja di Desa Pakraman Tamblang dilakukan pengabenan oleh masing-masing Dadia sebanyak 6 Dadia dan satu kali dilakukan oleh Pengurus di Desa Pakraman.

Ada Juga beberapa kelompok masyarakat mulai melakukan kegiatan upacara dengan mengkombinasikan pertentangan hal ini, dengan melibatkan Pemangku Kahyangan Desa serta kubayan dengan Sulinggih, tetapi permasalahan baru timbul lagi karena beberapa kubayan belum bisa menerima perkembangan perubahan yang dilakukkan oleh pemuput karya (sulinggih) dengan adanya beberapa perubahan sarana upacara maupun adanya perubahan susunan acara yang dilakukan.

Perbedaan itu apakah disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap makna upacara atau ada hal yang lain yang mendasari ? Dari beberapa warga masyarakat yang diminta jawabannya, ada yang memberikan pendapat bahwa perbedaan itu timbul karena ada beberapa pengurus desa, Pemangku Desa atau Kubayan yang belum bisa menerima perubahan, sebenarnya perubahan tidak ada tetapi adanya pengurangan kuantitas bahan banten yang digunkan dujadikan alasan bahwa itu dikatakan sebagai perubahan tetapi disatu sisi ada yang membenarkan bahwa kita harus menjaga serta melestarikan adat yang kita miliki.

Tetapi perbedaan yang ada saat ini untuk menggunakkan Pemangku atau Sulinggih didalam muput Upacara tidak sampai menganggu aktifitas umat terutama Krama Desa Pakraman Tamblang untuk menunjukkan rasa baktinya kepada leluhurnya dan atau kepada Hyang Widhi. Sampai saat ini yang menggunakkan sulinggih berjalan seperti biasa dan yang menggunakan Pemangku juga berjalan sesuai dengan niat umat untuk berupacara.

Pengirim : Kepala Desa Tamblang Ir. I Nengah Sudarsana

4 comments:

  1. Dalam Alam Demokrasi,Perbedaan pendapat dan perbedaan cara pandang adalah sesuatu yang wajar dan tidak perelu terlalu dipermasalahkan. setiap perubahan secara Evolusi akan membawa resiko benturan lebih kecil dibandingkan perubahan secara Revolusi. dahulu tetua2 kita jarang yang bisa sembahyang TriSandya juga tidak pernah ada masalah tetapi kita sebagai umat hindu sebisanya melakukan persembahyangan dan upacara, upakara sesuai dengan aturan serta Tuntunan agama hindu, upacara Agama tidak sama dengan Upacara Adat

    ReplyDelete
  2. biasanya setelah umat Hindu banyak membaca dan mempelajari Buku Agama Hindu maka tindakan, perbuatan dan tingkah lakunya akan banyak dipengaruhi oleh ajaran2 Agama Hindu yang dibacanya TSB. Untuk itu mari kita bangun mental spiritual masyarakat dengan sering mengadakan Dharma Wacana agar masyarakat mengetahui dan membedakan antara Agama dan Adat

    ReplyDelete
  3. mungkin diperlukan yajamana atau sulinggih yang bisa memberikan dharmawacana, mejelaskan hakekat upacara di sana... smoga umat kita tidak pecah karena hal2 yang tidak pantas diributkan..

    ReplyDelete
  4. Lanjutkan apa yg telah diwariskan oleh leluhur kita agar kita tidak kena tulah pamadi

    ReplyDelete